Aplikasi teori
kognitif terhadap pembelajaran siswa
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan
sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi,
reorganisasi perseptual, dan proses internal. Misi dari pemerolehan pengetahuan
melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh,
menganalisis dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan
masalah. Menurut teori kognitif, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara
mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya.
Ciri – ciri pembelajaran dalam pandangan kognitif adalah sebagai berikut,
1.
Menyediakan pengalaman belajar
dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa
sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2.
Menyediakan berbagai alternatif
pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu
masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara
3.
Mengintegrasikan pembelajaran
dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit,
misalnya untuk memahami suatu konsep siswa melalui kenyataan kehidupan sehari
hari
4.
Mengintegrasikan pembelajaran
sehingga memungkinkan terjadinya transimisi sosial yaitu terjadinya interaksi
dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya,
interaksi dan kerjasama antara kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5.
Memanfaatkan berbagai media
termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih
efektif
6.
Melibatkan siswa secara emosional
dan sosial sehingga siswa menjadi menarik dan siswa mau belajar.
Prinsip teori pembelajaran kognitif:
- Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
- Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
- Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena dengan hanya mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
- Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
- Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
- Belajar memahami akan lebih bermaknsa daripada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dandihubungkan dengan pengetahuan yang telahdimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
- Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajra siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Tytler (1996:20) menyarankan rancangan pembelajaran sebagai berikut:
1.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi kreatif dan imajinatif
3.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru
4.
Memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5.
Mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka
6.
Menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif
A. Belajar Bermakna David P. Ausubel
Teori belajar Ausubel
menitikberatkan pada bagaimana seseorang
memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat dua jenis belajar yaitu belajar hafalan
(rote-learning) dan belajar bermakna (meaningful-learning).
aa)
Belajar Hapalan
Materi dalam pelajaran matematika
bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun merupakan satu kesatuan,
sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan pengetahuan yang lain.
Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu
arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya
sesuatu yang tunggal seperti banyaknya
kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti
banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil
salah menghitung sesuatu. Tangannya masih
ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau malah “enam”.
Kesalahan kecil seperti ini akan
berakibat pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan
terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai
sepuluh.
bb)
Belajar Bermakna
Agar proses mengingat bilangan
kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan kedua (yang baru) harus
dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945 akan
tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-80-71.Untuk bilangan
pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna jika bilangan itu
dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita.
Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang
dapat kita kaitkan. Tugas guru adalah
membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat
dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak
dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak
bermakna (rote learning).
Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful
learning) yang telah digagas David P Ausubel.
Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan
kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai
membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait
dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna
tersebut.
2.
Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner, ada tiga tahap
belajar, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik.Berbeda dengan Teori Belajar Piaget
yang telah membagi perkembangan kognitif seseorang atas empat tahap berdasar
umurnya, maka Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap,
yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
Bruner memusatkan perhatian pada masalah
apa yang dilakukan manusia terhadap informasi diterimanya dan apa yang
dilakukan setelah menerima informasi tersebut untuk pemahaman dirinya.
a). Tiga Tahap Proses Belajar
Teori Bruner tentang tiga tahap
proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui siswa agar proses
pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi internalisasi pada diri
siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat menyatu ke dalam
struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut adalah:
1. Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang
dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara aktif. Contohnya, ketika akan
membahas penjumlahan dan pengurangan di awal pembelajaran, siswa dapat belajar
dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi, atau dapat juga memanfaatkan
beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar penjumlahan dua
bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan
menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan” atau dengan menggunakan obyek langsung.
2.Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap
pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau
diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang
terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih
penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi
dan menggunakan penyajian ikonik yang
didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir
abstrak.
3.Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah
mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap
simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak
(abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang
dipakai berdasarkan kesepakatan
orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya
huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun
lambang-lambang abstrak yang lain.
b). Empat Teorema Belajar dan Mengajar
Meskipun pepatah Cina menyatakan
“Satu gambar sama nilainya dengan seribu kata”, namun menurut Bruner,
pembelajaran sebaiknya dimulai dengan menggunakan benda nyata lebih dahulu.
Karenanya, seorang guru ketika mengajar matematika hendaknya menggunakan model
atau benda nyata untuk topik-topik tertentu yang dapat membantu pemahaman
siswanya. Bruner mengembangkan empat
teori yang terkait dengan asas peragaan, yakni:
1. Teorema konstruksi menyatakan
bahwa siswa lebih mudah memahami ide-ide abstrak dengan menggunakan peragaan
kongkret (enactive) dilanjutkan ke tahap semi kongkret (iconic) dan diakhiri
dengan tahap abstrak (symbolic). Dengan menggunakan tiga tahap tersebut, siswa
dapat mengkonstruksi suatu representasi dari konsep atau prinsip yang sedang
dipelajari.
2. Teorema notasi menyatakan bahwa
simbol-simbol abstrak harus dikenalkan secara bertahap, sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh:
1. Notasi 3×2 dapat dikaitkan dengan 3×2 tablet.
2. Soal seperti ... + 4 = 7 dapat
diartikan sebagai menentukan bilangan
yang kalau ditambah 4 akan menghasilkan 7. Notasi yang baru adalah 7 − 4 = ...
.
3. Teorema kekontrasan atau
variasi menyatakan bahwa konsep
matematika dikembangkan melalui beberapa contoh dan bukan contoh seperti yang
ditunjukkan gambar di bawah ini tentang contoh dan bukan contoh pada konsep
trapesium.
4. Teorema konektivitas menyatakan
bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep lain yang relevan.
Sebagai contoh, perkalian dikaitkan dengan luas persegi panjang dan
penguadratan dikaitkan dengan luas persegi. Penarikan akar pangkat dua dikaitkan
dengan menentukan panjang sisi suatu persegi jika luasnya diketahui.
Lebih lanjut, berbagai jenis
kegiatan dalam pembelajaran yang menerapkan teorema- teorema Bruner dapat
diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam
bukunya “Audio Visual Methods in Teaching” sebagaimana dikutip Heinich,
Molenda, dan Russell (1985:4) sebagai berikut,
1. Pengalaman langsung. Artinya,
siswa diminta untuk mengalami, berbuat sendiri dan mengolah, serta merenungkan
apa yang dikerjakan.
2. Pengalaman yang diatur. Sebagai
contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika benda tersebut terlalu besar atau
kecil, atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka benda tersebut dapat diragakan
dengan model. Contohnya: peta, gambar benda-benda yang tidak mungkin dihadirkan
di kelas, model kubus, dan kerangka balok,
3. Dramatisasi. Misalnya: permainan
peran, sandiwara boneka yang bisa digerakkan ke kanan atau ke kiri pada garis
bilangan.
4. Demonstrasi. Biasanya dilakukan
dengan menggunakan alat-alat bantu seperti papan tulis, papan flanel, OHP
dan program komputer. Banyak topik dalam
pembelajaran matematika di SD yang dapat diajarkan melalui demonstrasi,
misalnya: penjumlahan, pengurangan, dan pecahan.
5. Karyawisata. Kegiatan ini
sebenarnya sangat baik untuk menjadikan matematika sebagai atau menjadi
pelajaran yang disenangi siswa. Kegiatan
yang diprogramkan dengan melibatkan penerapan konsep matematika seperti
mengukur tinggi objek secara tidak langsung, mengukur lebar sungai, mendata
kecenderungan kejadian dan realitas yang ada di lingkungan merupakan kegiatan
yang sangat menarik dan sangat bermakna
bagi siswa serta bagi daya tarik pelajaran matematika di kalangan
siswa.
6. Pameran. Pameran adalah usaha
menyajikan berbagai bentuk model-model kongkret yang dapat digunakan untuk
membantu memahami konsep matematika dengan cara yang menarik. Berbagai bentuk
permainan matematika ternyata dapat menyedot perhatian siswa untuk mencobanya,
sehingga jenis kegiatan ini juga cukup bermakna untuk diterapkan dalam
pembelajaran matematika.
7. Televisi sebagai alat peragaan. Program pendidikan matematika yang
disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk
pembelajaran matematika.
8. Film sebagai alat peraga
9. Gambar sebagai alat peraga
Dengan demikian jelaslah bahwa
asas peragaan dalam bentuk enaktif dan ikonik selama pembelajaran matematika
adalah sangat penting untuk meningkatkan pemahaman dan daya tarik siswa dalam
mempelajari matematika sebelum mereka menggunakan bentuk-bentuk simbolik.