Membangun
Kultur Pendidikan yang Efektif
Para
peneliti pendidikan mengakui bahwa sekolah yang efektif secara alami memiliki
wajah yang beragam. Uline (1998) misalnya, mengkategorikan kegiatan sekolah
yang efektif menjadi dua dimensi, kegiatan yang bersifat ekspresif dan kegiatan
yang bersifat instrumental. Kegiatan yang bersifat ekspresif mencakup
kepercayaan (trust) dan hubungan yang baik (healthy
relationship) di dalam komunitas sekolah. Kepercayaan merupakan pondasi
sekolah yang efektif. Kepercayaan juga penting bagi sebuah kerjasama dan
komunikasi yang efektif dan merupakan basis hubungan yang produktif. Kegiatan
yang bersifat instrumental mencakup suasana yang berkaitan dengan proses
belajar mengajar. Seperti komitmen guru dan kemudahannya untuk dihubungi baik
oleh siswa maupun sesama personel sekolah,
Dalam redaksi yang
berbeda, Creemers (1996), menemukan bahwa sekolah yang efektif berbeda dengan
sekolah yang tidak efektif dalam hal berikut; sekolah yang efektif menggunakan
waktu dalam belajar secara lebih maksimal, memberikan materi yang terbaru,
mendorong siswa untuk praktek secara mandiri, memiliki ekspektasi yang tinggi,
menggunakan penguatan (reinforcement) yang positif, sedikitnya
gangguan, disiplin yang ketat, suasana yang bersahabat, eksibisi karya siswa,
dan kondisi fisik serta tata ruang kelas.
Dalam
studinya tentang lingkungan belajar di Pondok Pesantren, Jamaludin (2000)
menemukan elemen lingkungan belejar yang tidak jauh berbeda. Terdapat 14 faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar santri di Pondok Pesantren. Faktor-faktor
tersebut dapat dipadatkan menjadi 8, yaitu; (1) penekanan terhadap belajar; (2)
kondisi fisik pesantren; (3) otonomi santri; (4) belajar bersama (cooperative
learning); (5) ekspektasi belajar; (6) perhatian dan ekspektasi guru; (7)
komunikasi antara guru dan orang tua; dan (8) penghargaan dan kepercayaan yang
diberikan oleh guru. Setiap lembaga pendidikan, sebagaimana setiap individu
dalam sebuah lembaga pendidikan, berbeda satu sama lain. Seperti layaknya
manusia, sebuah madrasah atau lembaga memiliki getaran dan jiwa sendiri.
Masing-masing mengekspresikan rasa tersendiri yang penting dan berbeda satu
sama lainnya. Getaran tersebut berasal dari hubungan interpersonal dalam
lingkungan sekolah yang pada gilirannya menciptakan kultur atau budaya sebuah
lembaga pendidikan.
Studi
tentang sekolah yang efektif membuktikan bahwa kultur atau budaya sebuah
sekolah secara fundamental sangat menentukan kualitas sebuah system pendidikan.
Pada banyak kasus, kegagalan sejumlah usaha reformasi pendidikan di banyak
tempat berkaitan dengan ketiadaan perubahan yang radikal dalam kultur sekolah.
Seorang mungkin bertanya, mengapa kultur, dan bukannya struktur? Hal ini karena
kultur merupakan jiwa (spirit) sebuah sekolah yang memberi makna terhadap setiap kegiatan kependidikan
sekolah tersebut, dan menjadi jembatan antara aktivitas dan hasilnya. Kultur
merupakan sintesa antara etika dan rasionalitas, sebuah keadaan yang
mengantarkan kita, minimal secara konseptual, melebihi batas-batas kekurangan
manusiawi menuju tingkatan kreativitas, seni, dan intelek yang tinggi. Kultur
juga merupakan kendaraan (vehicle) untuk mentransmisikan
nilai-nilai pendidikan (Cavabagh dan Dellar, 1998). Jika kultur sebuah sekolah
lemah, maka ia tidak kondusif bagi perkembangan sekolah. Sebaliknya, kalau
kulturnya kuat maka akan menjadi fasilitator penting bagi pengembangan sekolah.
Mengapa demikian? Karena restrukturisasi secara hirarkis saja tidak cukup
memberikan pengaruh signifikan terhadap pengembangan sekolah. Sebagaimana
kompleksnya dunia pendidikan, sebuah usaha reformasi pendidikan menghendaki
pendekatan multiperspektif, termasuk perspektif budaya atau kultur.
Secara sosiologis, kultur
atau budaya mengacu kepada kebiasaan atau praktek-praktek, karakter-karakter
yang merefleksikan kesepakatan-kesepakatan makna, kognisi, symbol, atau
pengalaman sebuah kelompok masyarakat. Kultur
mencakup cara berpikir, sikap terhadap hidup, dan pola hubungan social antar
anggota masyarakat. Ia menyangkut cara seseorang berperilaku, memberi reaksi atau menyikapi sesuatu. Dalam kata-kata
yang sederhana kultur merupakan “cara kita melakukan sesuatu di sini” (the
way we do things around here).
Secara
estetika, kultur berhubungan dengan suatu usaha tanpa henti untuk mencapai
sesuatu yang diidealkan. Untuk menciptakan “realitas” ideal tertinggi yang bisa
dicapai oleh manusia. Dalam redaksi yang lain, Arnold melihat kultur sebagai
pencarian terhadap kesempurnaan dengan maksud mengetahui apa yang menjadi
kepentingan orang banyak.
Dari
kedua definisi di atas mengandung makna sebuah proses yang terus menerus tanpa
berakhir. Dengan demikian, jika kultur merepresentasikan idealitas manusia,
maka ia merupakan sesuatu yang dinamis, makhluk progresif, sebuah potensi yang
dapat membawa kepada proses belajar yang tak pernah berakhir, “Long life
education”.
Analisa Artikel
Dalam
artikel tersebut saya menangkap pengertian bahwa ada perbedaan sekolah yang
efektif dan sekolah yang tidak efektif. Saya sangat setuju dengan pendapat
pendapat diatas, karena banyak faktor yang mempengaruhi kultur pendidikan pada
masa ini. Jika dilihat dari berbagai sudut pandang Semua mengarah pada sisi
positif sekolah yang efektif, saya setuju bahwa sekolah yang efektif adalah
memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk membimbing anak didiknya hingga
mencapai puncak perkembangannya. Bahkan seorang anak didik akan melebihi kemampuan
gurunya sehingga sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu menunjukkan
kualitasnya sebagai wadah atau sarana yang dapat menjunjung kultur pendidikan
yang lebih baik.
Kita
dapat mengibaratkan sebuah kegiatan belajar mengajar adalah latihan pementasan
sebuah drama. Guru adalah seorang sutradara yang mengatur jalannya cerita
sehingga cerita dapat terstruktur dan sesuai dengan alur yang ada pada naskah
drama. Guru adalah pengantar atau fasilitator yang ada di dalam kelas, guru
tidak perlu menggunakan metode ceramah yang berlebihan terhadap semua anak
didiknya. Karena, siswa akan merasa jenuh pada jam jam tengah pelajaran,
mungkin bisa saja materi yang disampaikan malah hanya didengar di telinga saja
tanpa memahami materi tersebut. Suasana seperti digambarkan sebuah drama akan
membawa dampak baik pada perkembangan peserta didik. Anak didik akan belajar
secara mandiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi, ia akan belajar
menjelaskan kepada siswa yang lain apa yang telah ia dapatkan dari pengalamannya
mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Guru wajib mengoreksi hasil
penjelasan anak didiknya. Sehingga peran guru disini sangat membantu
perkembangan anak didik. Dengan hal ini, seorang guru harus terampil dalam
memilih metode metode yang akan digunakan mengajar pada esok hari sehingga
kegiatan belajar mengajar ini akan menarik perhatian siswa di kelas setiap
harinya.
Dari
ilustrasi di atas, banyak kesimpulan yang dapat diambil. Salah satunya adalah
kultur pendidikan yang baik bukan saja didorong oleh sekolah yang efektif
melainkan dihasilkan oleh guru guru yang memiliki potensi mengajar yang baik
dan tingkah laku yang baik pula. Kultur pendidikan akan dikenakan secara turun
temurun dan berkelanjutan. Nasib bangsa ini baik atau tidaknya bergantung pada
generasi penerusnya. Proses belajar yang baik adalah tanpa memandang status
sosial, semua anak didik mempunyai hak yang sama untuk memperoleh perlakuan
yang baik dari gurunya. Jadi seorang guru tidak boleh membeda bedakan muridnya
satu sama lain. Meskipun guru ada masalah dengan atasannya atau dengan yang
lainnya jangan mencampur adukkan saat jam pelajaran berlangsung. Maka, Agar
guru dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik maka harus dilengkapi
fasilitasnya, sehingga semua tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang
baik, dapat kita berpedoman pada guru. Seperti pepatah “guru digugu lan ditiru”
guru itu diperhatikan atau didengarkan nasihatnya dan ditiru tingkah lakunya
oleh anak didiknya.
Sumber : http://membumikan-pendidikan.blogspot.com/2014/05/membangun-kultur-pendidikan-yang-efektif.html